Koefisien Gini

Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan distribusi. Ukuran ini pertama kali dikembangkan oleh statistisi dan ahli sosiologi Italia bernama Corrado Gini dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam makalahnya berjudul “Variability and Mutability” (dalam bahasa Italia: Variabilità e mutabilità).

Koefisien Gini dinyatakan dalam bentuk rasio yang nilainya antara 0 dan 1. Nilai 0 menunjukkan pemerataan yang sempurna di mana semua nilai sama sedangkan nilai 1 menunjukkan ketimpangan yang paling tinggi yaitu satu orang menguasai semuanya sedangkan yang lainnya nihil. Menurut definisinya, koefisien gini adalah perbandingan luas daerah antara kurva lorenz dan garis lurus 45 derajat terhadap luas daerah di bawah garis 45 derajat tersebut.

Pada gambar, Kurva Lorenz memetakan kumulatif pendapatan pada sumbu vertikal dengan kumulatif penduduk pada sumbu horisontal. Pada contoh, 40 persen penduduk menguasai sekitar 20 persen total pendapatan. Koefisien gini diperoleh dengan membagi luas daerah A dengan (A+B).

Jika setiap individu memiliki pendapatan yang sama, maka kurva distribusi pendapatan akan tepat jatuh pada garis lurus 45 derajat pada gambar, dan koefisien gini bernilai 0. Sebaliknya jika seorang individu menguasai seluruh pendapatan, dikatakan terjadi ketimpangan sempurna (maksimum) sehingga kurva distribusi pendapatan akan jatuh pada titik (0,0), (0,100) dan (100,100), dan angka koefisien gini bernilai 1.

Koefisien Gini dihitung sbb:

(karena A+B = 0,5)
Atau untuk fungsi probabilitas diskret f(y) dengan yi; i dari 1 sampai n, adalah titik-titik diurutkan dari kecil ke besar (increasing):

di mana

Pada praktek, fungsi L(x) maupun f(y) tidak diketahui, hanya ada titik koordinat dalam interval. Sehingga koefisien gini dihitung menggunakan rumus:

di mana:
Xk = kumulatif proporsi populasi
Yk = kumulatif proporsi income/pendapatan
Yk diurutkan dari kecil ke besar
Nilai G1 di sini adalah perkiraan dari nilai G.

Hukum Air Sisa Minum

Air sisa minum ada beberapa macam:
(i) Air sisa minum orang
Air sisa minum orang muslim, kafir, sedang junub atau sedang haid adalah suci.

Adapun firman Allah, “Orang-orang musyrik itu najis, “maksudnya adalah najis secara hukum, karena keyakinan mereka salah dan mereka sendiri tidak peduli dengan kotorar
dan najis. Bukan karena tubuh mereka najis. Saat itu, mereka
juga berinteraksi dengan kaum muslimin. Delegasi mereka datang menemui Rasulullah, bahkan mereka masuk masjid, dan Nabi tidak menyuruh membersihkan bagian masjid yang tersentuh tubuh mereka
Aisyah ra. menceritakan, “Dahulu, saat aku sedang haid, aku minum, lalu kuberikan gelas sisa minum kepada Rasulullah, lalu beliau minum dengan meletakkan bibirnya di tempat bekas bibirku.” (h.r. Muslim)

(ii) Air sisa minum hewan yang boleh dimakan.
Air sisa minum hewan yang dagingnya boleh dimakan adalah suci, karena liur hewan tersebut berasal dari daging yang suci.
Dengan demikian, hukum liurnya pun sama dengan dagingnya. Abu Bakar bin Mundzir berkata, “ljma’ ulama menyepakati bahwa air sisa minum hewan yang dagingnya boleh dimakan boleh diminum dan boleh dipergunakan untuk wudhu.”

(iii) Air sisa minum keledai, binatang buas, dan burung pemangsa.
Air jenis ini suci. Jabir ra. menceritakan bahwa Nabi pernah
ditanya, “Apakah kami boleh wudhu dengan air sisa minum keledai?”
Beliau bersabda,
“Boleh. Juga sisa minum semua binatang buas.” (h.r. Syafi’i, Daruquthni dan Baihaqi)

Baihaqi berkata, “Hadits ini memiliki jalur riwayat yang banyak. Jika digabungkan akan menjadi kuat.”

Ibnu Umar ra. berkata, “Rasulullah pernah bepergian malam hari. Beliau dan rombongan melewati seorang laki-laki yang sedang duduk dekat bejana besar air miliknya. Umar ra. ber-tanya, Apakah ada binatang buas yang meminum di bejanamu?”

Rasulullah bersabda,
Wahai pemilik telaga, jangan kamu beri tahu. Dia sudah berlebihan. Binatang yang telah minum mendapatkan air yang sudah masuk ke perutnya. Dan kita mendapatkan air yang tersisa. Air ini bisa diminum dan suci lagi menyucikan.” (h.r. Daruquthni).

Yahya bin Sa’id menceritakan bahwa Umar ra. bepergian dengan rombongan yang di dalamnya ada Amru bin Ash. Ketika sampai di sebuah telaga, Amru berkata kepada pemilik telaga, “Hai pemilik telaga, apakah ada binatang buas yang minum di telagamu?
Umar ra. berkata, “Jangan kau beritahu. Kita boleh minum air sisa binatang buas, dan binatang buas boleh minum air sisa kita.” (h.r. Malik dalam Al-Muwatha’)

(iv) Air sisa minum kucing.
Air sisa minum kucing adalah suci. Kabsyah binti Ka’ab ra. (istri Abu Qatadah) menceritakan bahwa pada suatu hari Abu Qatadah masuk rumah. Lalu Kabsyah menuangkan air untuknya. Seekor kucing mendekat dan meminum air itu. Abu Qatadah memiringkan gelas itu sehingga kucing tersebut bisa
minum sampai kenyang. Kabsyah berkata, “Abu Qatadah melihatku sedang memperhatikannya. Dia berkata, ‘Apa engkau kaget?’ Istrinya menjawab, ‘Ya. Abu Qatadah menjelaskan, ‘Rasulullah saw. pernah bersabda
“Kucing itu tidak najis. la termasuk binatang jinak yang sering berkeliaran di sekiar kalin.” (h.r. Lima Perawi). Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih. Bukhari dan yang lain juga menilai hadits ini shahih.

(v) Air sisa minum anjing dan babi.
Air sisa minum anjing dan babi adalah najis yang harus dijauhi
Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Jika ada anjing yang minum di bejana seorang dari kalian, maka
cucilah tujuh kali.” (h.r. Bukhari dan Muslim)

Riwayat Ahmad dan Muslim berbunyi,
“Cara menyucikan bejana seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali. Salah satunya dengan tanah.”

Berkenaan dengan air sisa minum babi, kedudukannya sama
karena babi sangat kotor dan menjijikkan.